Jumat, 12 Mei 2017

Kajian

PENANGGUHAN PENAHANAN KETIKA TERDAKWA YANG TELAH DIVONIS BERSALAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN TINGKAT PERTAMA MENGAJUKAN UPAYA BANDING


Penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (UU No. 5 Tahun 2010) menyatakan bahwa ;
“Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan Undang-Undang ini.
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:
  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
  3.  Putusan kasasi.
Yang dimaksud dengan ”pengadilan” adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana.”

Berdasarkan penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010 tersebut, ketika seseorang yang divonis berdasarkan Putusan dari Pengadilan Tingkat Pertama mengajukan upaya banding, maka dikategorikan bahwa Putusan terhadap dirinya tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah :
Bagaimana ketika seorang terdakwa yang sudah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan Putusan Pengadilan tingkat Pertama, mengajukan upaya banding, disertai dengan permohonan untuk diberikan penangguhan penahanan ? karena bukankah seseorang yang mengajukan upaya banding berarti terhadap dirinya belum ada Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap ?
Berikut akan penulis uraikan pembahasan dari pertanyaan tersebut.
Penangguhan penahanan dinyatakan di dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa ; “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.” Penangguhan penahanan selanjutnya juga diatur di dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (PP No. 27 Tahun 1983) yang menyatakan ; “Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.”
Ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan penahanan adalah terdakwa atau tersangka. Ketentuan Pasal 35 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983 kemudian secara implisit menyatakan bahwa, penangguhan penahan hanya dimungkinkan pada tingkat pemeriksaan, hal tersebut dapat dipahami dari frasa “.... sesuai dengan tingkat pemeriksaan ....”.
Selanjutnya yang harus dipahami adalah, ketika seorang terdakwa menyatakan banding terhadap Putusan dari Pengadilan tingkat Pertama, apakah berarti ia berada dalam tingkat pemeriksaan. Mengingat sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010, bahwa ketika terhadap Putusan Pengadilan tingkat Pertama dilakukan upaya banding, maka Putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Harus dipahami, bahwa UU No. 5 Tahun 2010 tersebut adalah undang-undang yang menjadi landasan hukum dari pemberian Grasi. Pengkategorian suatu Putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, bukan dalam pengertian bahwa Putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap adalah Putusan yang belum mengikat. Adanya kategorisasi tersebut adalah untuk diketahui kapan Grasi tersebut dapat diajukan. Indonesia menganut sistem trias politica, yang artinya kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif adalah seimbang (tidak ada yang lebih tinggi), Grasi adalah kewenangan atau hak dari Presiden (Eksekutif), sehingga ketika Presiden ingin menggunakan hak atau kewenangan tersebut, memang harus menunggu Yudikatif menjalankan kewenangannya terlebih dahulu, dan selama terhadap Putusan Pengadilan tingkat pertama masih dilakukan upaya banding, dan seterusnya, hal tersebut berarti Yudikatif sedang dalam proses menjalankan kewenangannya, dan selama Yudikatif sedang menjalankan kewenangannya, Eksekutif tidak bisa ikut campur di dalamnya. Hal tersebut yang menjadi makna adanya kategorisasi putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap di dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Grasi, yaitu agar tidak terjadi benturan antara kewenangan Eksekutif dengan kewenangan Yudikatif.
Berdasarkan uraian di atas, kategori putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap bukan berarti bahwa putusan tersebut belum mengikat. Perlu dipahami, bahwa di dalam ilmu hukum terdapat asas yang berlaku universal. Asas tersebut adalah res judicata pro veritate habetur. Sudikno Mertokusumo[1] menjelaskan bahwa res judicata pro veritate habetur memiliki arti bahwa Putusan Hakim harus dianggap benar. Jika saksi palsu diajukan dan Hakim memutus perkaranya berdasarkan saksi palsu tersebut, jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian yang benar, tetapi harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi (kalau dimintakan banding atau kasasi).
Berdasarkan asas res judicata pro veritate habetur maka Putusan dari Pengadilan tingkat Pertama adalah dianggap benar sampai Putusan tersebut dianulir oleh Pengadilan yang lebih tinggi. Artinya, ketika seorang terdakwa yang dinyatakan bersalah dan diberikan vonis pidana penjara oleh Putusan Pengadilan tingkat Pertama, statusnya sudah berubah menjadi terpidana karena sudah dijatuhi pidana, terhitung saat Hakim mengetuk palu, dan meskipun si terdakwa yang sudah menjadi terpidana tersebut mengajukan upaya banding, statusnya adalah tetap sebagai terpidana sampai dianulir oleh Putusan Pengadilan yang lebih tinggi. Andi Hamzah[2] mengenai hal tersebut juga menjelaskan, bahwa ; “.... Pengajuan banding oleh terpidana karena ia dijatuhi pidana atau tindakan tata tertib. Dengan sendirinya terdakwa yang telah dijatuhi pidana berubah namanya menjadi terpidana.”
Penangguhan penahanan, sebagaimana telah diuraikan, hanya dimungkinkan dalam tingkat pemeriksaan, dan ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP juga menyatakan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan penangguhan penahanan adalah tersangka atau terdakwa, dan tidak ada dinyatakan terpidana. Berdasarkan apa yang telah diuraikan, ketika seorang terdakwa pada Pengadilan Tingkat Pertama divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara, maka saat Hakim mengetuk palu (menutup sidang), status dari terdakwa tersebut berubah menjadi terpidana, sekalipun ia mengajukan banding terhadap Putusan tersebut, karena adanya asas res judicata pro veritate habetur, maka sembari menunggu keluarnya Putusan dari Pengadilan yang tingkatannya lebih tinggi tersebut, terdakwa yang menjadi terpidana tersebut statusnya adalah tetap terpidana.
Ketentuan Pasal 67 KUHAP menyatakan ; “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.” Ketentuan Pasal 233 ayat (1) KUHAP selanjutnya menyatakan bahwa ; “Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.” Ketentuan-ketentuan tersebut menyatakan yang dapat mengajukan upaya banding adalah terdakwa dan penuntut umum. Pihak yang dinyatakan tersebut salah satunya adalah terdakwa dan bukan terpidana adalah karena, ketika permintaan banding diajukan, persidangan terakhir tersebut belum ditutup oleh Hakim (palu belum diketuk), sehingga status terdakwa belum menjadi terpidana (apabila divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana), status terdakwa masih menjadi terdakwa karena sidang belum ditutup atau belum selesai. Ketika sidang sudah dinyatakan ditutup oleh Majelis Hakim (palu sudah diketuk), baru status terdakwa apabila divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana, berubah menjadi terpidana. Berdasarkan hal tersebut, dengan dinyatakan bahwa pihak yang berhak mengajukan upaya banding salah satunya adalah terdakwa dan bukan terpidana, hal tersebut bukan berarti bahwa dengan adanya upaya banding pemeriksaan perkara menjadi seperti keadaan awal, dan terpidana statusnya kembali menjadi terdakwa, tetapi karena memang ketika permintaan banding diajukan, persidangan belum ditutup oleh Majelis Hakim sehingga memang seorang terdakwa yang meskipun divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana, statusnya memang saat itu masih sebagai terdakwa.
Ketentuan Pasal 27 KUHAP, memang mengatur bahwa Hakim Pengadilan Tinggi yang menangani perkara banding dari Pengadilan Negeri, berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penahanan. Ketentuan Pasal 27 KUHAP tersebut memang dapat diintepretasikan bahwa proses banding adalah proses pemeriksaan sebagaimana pemeriksaan awal kembali, ketika seorang terpidana statusnya kembali menjadi terdakwa. Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan ketika terdakwa (terpidana berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama) mengajukan penangguhan penahanan.
Ketentuan Pasal 27 KUHAP tersebut, apabila diinterpretasikan demikian, maka akan menjadi kontradiktif dengan asas res judicata pro veritate habetur, lebih lanjut, juga akan berpengaruh kepada kewibawaan dari Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang juga terdapat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan Pasal 27 KUHAP ketika diintepretasikan bahwa bahwa proses banding adalah proses pemeriksaan sebagaimana pemeriksaan awal kembali, ketika seorang terpidana statusnya kembali menjadi terdakwa, sehingga dimungkinkan bagi terdakwa (terpidana berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama) mengajukan penangguhan penahanan, akan mendegradasi kewibawaan dari Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, lalu apakah artinya pemeriksaan di dalam sidang Pengadilan Tingkat Pertama yang dilakukan dengan sangat menyita waktu dan tenaga, ketika sudah mendapatkan suatu Putusan, lalu salah satu pihak menyatakan banding, kemudian Putusan yang telah diambil dengan susah payah tersebut seolah-olah seperti dinafikan, karena posisi terdakwa yang sudah menjadi terpidana berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, kembali diperlakukan seperti terdakwa ketika awal mula pemeriksaan.
Intepretasi yang tepat terhadap ketentuan Pasal 27 KUHAP tersebut, agar terjadi sinkronisasi di dalam aturan atau sistem hukum adalah, ketentuan tersebut dipersempit maknanya (interpretasi restriktif). Ketentuan Pasal 1 angka 21 KUHAP menyatakan, bahwa ; “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Ketentuan Pasal 27 KUHAP ketika digunakan interpretasi restriktif, maka penahanan hanya untuk tersangka atau terdakwa, sehingga, ketika seorang terdakwa divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara oleh Pengadilan Negeri, ketika si terdakwa tersebut menyatakan banding, status dari terdakwa tersebut tetaplah seorang terpidana kecuali di kemudian hari Putusan tersebut dianulir berdasarkan Putusan Pengadilan yang lebih tinggi, tetapi selama pemeriksaan banding dilakukan, si terpidana tersebut diperlakukan layaknya seorang terdakwa, yaitu tempat penahanannya selama pemeriksaan ditentukan oleh Hakim Pengadilan Tinggi (misalkan jika Hakim menginginkan terpidana tersebut bukan lagi ditahan di Lembaga Pemasyarakatan tetapi dipindahkan ke Tahanan Kepolisian misalnya), demikian juga dengan jangka waktunya. Hakim Pengadilan Tinggi akan tetapi jika tidak memerintahkan untuk melakukan penahanan, maka si terpidana tersebut tetap menjalani hukuman pidananya semula (tidak bebas), demikan juga halnya ketika pemeriksaan banding pada Pengadilan Tinggi melebihi jangka waktu yang diberikan oleh KUHAP untuk Hakim Pengadilan Tinggi melakukan penahanan, ketentuan “terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum” maksudnya dikeluarkan dari tahanan yang atas perintah Pengadilan Tinggi, sehingga ketika hal tersebut terjadi, si terdakwa tersebut kembali menjalani hukuman pidana penjara sebelumnya.
Berdasarkan segala apa yang telah diuraikan, ketika seorang terdakwa pada Pengadilan Tingkat Pertama divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara, maka saat Hakim mengetuk palu (menutup sidang), status dari terdakwa tersebut berubah menjadi terpidana. Sekalipun ia (terdakwa yang menjadi terpidana) mengajukan banding terhadap Putusan tersebut, karena adanya asas res judicata pro veritate habetur, maka status terpidana beserta segala konsekuensinya tetap akan melekat pada dirinya kecuali Putusan Pengadilan Tingkat Pertama tersebut di kemudian hari dianulir berdasarkan Putusan Pengadilan yang lebih Tinggi. Seorang terdakwa yang divonis bersalah serta dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, lalu mengajukan banding disertai juga mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkaranya, sekalipun permohonan penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi, si terdakwa tersebut tetap harus ditahan, tetapi ditahannya si terdakwa tersebut bukan penahanan dalam kaitan pemeriksaan perkara (atas perintah Hakim), tetapi ditahan sebagai terpidana (bentuk pelaksanaan Putusan dari Pengadilan Tingkat Pertama). 






[1] Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.9.
[2] Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.290-291.

Kajian

PENANGGUHAN PENAHANAN KETIKA TERDAKWA YANG TELAH DIVONIS BERSALAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN TINGKAT PERTAMA MENGAJUKAN UPAYA BANDING ...