PENANGGUHAN PENAHANAN KETIKA TERDAKWA YANG TELAH
DIVONIS BERSALAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN TINGKAT PERTAMA MENGAJUKAN
UPAYA BANDING
Penjelasan
dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (UU No. 5 Tahun 2010) menyatakan
bahwa ;
“Kata
“dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan
permohonan grasi sesuai dengan Undang-Undang ini.
Yang
dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
adalah:
- Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
- Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
- Putusan kasasi.
Yang
dimaksud dengan ”pengadilan” adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum
atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana.”
Berdasarkan
penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010 tersebut, ketika seseorang
yang divonis berdasarkan Putusan dari Pengadilan Tingkat Pertama mengajukan
upaya banding, maka dikategorikan bahwa Putusan terhadap dirinya tersebut belum
memiliki kekuatan hukum tetap.
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah :
Bagaimana ketika seorang terdakwa
yang sudah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan Putusan
Pengadilan tingkat Pertama, mengajukan upaya banding, disertai dengan
permohonan untuk diberikan penangguhan penahanan ? karena bukankah seseorang
yang mengajukan upaya banding berarti terhadap dirinya belum ada Putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap ?
Berikut
akan penulis uraikan pembahasan dari pertanyaan tersebut.
Penangguhan penahanan
dinyatakan di dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa ; “Atas permintaan
tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan
uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.” Penangguhan
penahanan selanjutnya juga diatur di dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (PP No. 27 Tahun 1983) yang menyatakan ; “Uang jaminan penangguhan
penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan, disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.”
Ketentuan Pasal
31 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan
penahanan adalah terdakwa atau tersangka. Ketentuan Pasal 35 ayat (1) PP No. 27
Tahun 1983 kemudian secara implisit menyatakan bahwa, penangguhan penahan hanya
dimungkinkan pada tingkat pemeriksaan, hal tersebut dapat dipahami dari frasa “....
sesuai dengan tingkat pemeriksaan ....”.
Selanjutnya yang
harus dipahami adalah, ketika seorang terdakwa menyatakan banding terhadap
Putusan dari Pengadilan tingkat Pertama, apakah berarti ia berada dalam tingkat
pemeriksaan. Mengingat sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun
2010, bahwa ketika terhadap Putusan Pengadilan tingkat Pertama dilakukan upaya
banding, maka Putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Harus dipahami,
bahwa UU No. 5 Tahun 2010 tersebut adalah undang-undang yang menjadi landasan
hukum dari pemberian Grasi. Pengkategorian suatu Putusan yang memiliki kekuatan
hukum tetap, bukan dalam pengertian bahwa Putusan yang belum memiliki kekuatan
hukum tetap adalah Putusan yang belum mengikat. Adanya kategorisasi tersebut adalah
untuk diketahui kapan Grasi tersebut dapat diajukan. Indonesia menganut sistem trias politica, yang artinya kekuasaan
Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif adalah seimbang (tidak ada yang lebih
tinggi), Grasi adalah kewenangan atau hak dari Presiden (Eksekutif), sehingga
ketika Presiden ingin menggunakan hak atau kewenangan tersebut, memang harus
menunggu Yudikatif menjalankan kewenangannya terlebih dahulu, dan selama terhadap
Putusan Pengadilan tingkat pertama masih dilakukan upaya banding, dan seterusnya,
hal tersebut berarti Yudikatif sedang dalam proses menjalankan kewenangannya,
dan selama Yudikatif sedang menjalankan kewenangannya, Eksekutif tidak bisa
ikut campur di dalamnya. Hal tersebut yang menjadi makna adanya kategorisasi
putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap di dalam Undang-Undang yang mengatur
tentang Grasi, yaitu agar tidak terjadi benturan antara kewenangan Eksekutif
dengan kewenangan Yudikatif.
Berdasarkan
uraian di atas, kategori putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap bukan
berarti bahwa putusan tersebut belum mengikat. Perlu dipahami, bahwa di dalam
ilmu hukum terdapat asas yang berlaku universal. Asas tersebut adalah res judicata pro veritate habetur.
Sudikno Mertokusumo[1]
menjelaskan bahwa res judicata pro
veritate habetur memiliki arti bahwa Putusan Hakim harus dianggap benar.
Jika saksi palsu diajukan dan Hakim memutus perkaranya berdasarkan saksi palsu
tersebut, jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian yang benar, tetapi harus
dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain
oleh pengadilan yang lebih tinggi (kalau dimintakan banding atau kasasi).
Berdasarkan
asas res judicata pro veritate habetur
maka Putusan dari Pengadilan tingkat Pertama adalah dianggap benar sampai
Putusan tersebut dianulir oleh Pengadilan yang lebih tinggi. Artinya, ketika
seorang terdakwa yang dinyatakan bersalah dan diberikan vonis pidana penjara
oleh Putusan Pengadilan tingkat Pertama, statusnya sudah berubah menjadi terpidana
karena sudah dijatuhi pidana, terhitung saat Hakim mengetuk palu, dan meskipun
si terdakwa yang sudah menjadi terpidana tersebut mengajukan upaya banding,
statusnya adalah tetap sebagai terpidana sampai dianulir oleh Putusan
Pengadilan yang lebih tinggi. Andi Hamzah[2]
mengenai hal tersebut juga menjelaskan, bahwa ; “.... Pengajuan banding oleh
terpidana karena ia dijatuhi pidana atau tindakan tata tertib. Dengan
sendirinya terdakwa yang telah dijatuhi pidana berubah namanya menjadi
terpidana.”
Penangguhan
penahanan, sebagaimana telah diuraikan, hanya dimungkinkan dalam tingkat
pemeriksaan, dan ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP juga menyatakan bahwa
pihak-pihak yang dapat mengajukan penangguhan penahanan adalah tersangka atau
terdakwa, dan tidak ada dinyatakan terpidana. Berdasarkan apa yang telah
diuraikan, ketika seorang terdakwa pada Pengadilan Tingkat Pertama divonis
bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara, maka saat Hakim mengetuk palu
(menutup sidang), status dari terdakwa tersebut berubah menjadi terpidana,
sekalipun ia mengajukan banding terhadap Putusan tersebut, karena adanya asas res judicata pro veritate habetur, maka
sembari menunggu keluarnya Putusan dari Pengadilan yang tingkatannya lebih
tinggi tersebut, terdakwa yang menjadi terpidana tersebut statusnya adalah
tetap terpidana.
Ketentuan
Pasal 67 KUHAP menyatakan ; “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta
banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan
bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.” Ketentuan Pasal 233
ayat (1) KUHAP selanjutnya menyatakan bahwa ; “Permintaan banding sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau
yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.” Ketentuan-ketentuan
tersebut menyatakan yang dapat mengajukan upaya banding adalah terdakwa dan
penuntut umum. Pihak yang dinyatakan tersebut salah satunya adalah terdakwa dan bukan
terpidana adalah karena, ketika permintaan banding diajukan, persidangan
terakhir tersebut belum ditutup oleh Hakim (palu belum diketuk), sehingga
status terdakwa belum menjadi terpidana (apabila divonis bersalah dan dijatuhi
hukuman pidana), status terdakwa masih menjadi terdakwa karena sidang belum
ditutup atau belum selesai. Ketika sidang sudah dinyatakan ditutup oleh Majelis
Hakim (palu sudah diketuk), baru status terdakwa apabila divonis bersalah dan
dijatuhi hukuman pidana, berubah menjadi terpidana. Berdasarkan hal tersebut,
dengan dinyatakan bahwa pihak yang berhak mengajukan upaya banding salah
satunya adalah terdakwa dan bukan terpidana, hal tersebut bukan berarti bahwa dengan
adanya upaya banding pemeriksaan perkara menjadi seperti keadaan awal, dan
terpidana statusnya kembali menjadi terdakwa, tetapi karena memang ketika
permintaan banding diajukan, persidangan belum ditutup oleh Majelis Hakim sehingga
memang seorang terdakwa yang meskipun divonis bersalah dan dijatuhi hukuman
pidana, statusnya memang saat itu masih sebagai terdakwa.
Ketentuan
Pasal 27 KUHAP, memang mengatur bahwa Hakim Pengadilan Tinggi yang menangani
perkara banding dari Pengadilan Negeri, berwenang untuk mengeluarkan surat
perintah penahanan. Ketentuan Pasal 27 KUHAP tersebut memang dapat
diintepretasikan bahwa proses banding adalah proses pemeriksaan sebagaimana
pemeriksaan awal kembali, ketika seorang terpidana statusnya kembali menjadi
terdakwa. Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan ketika terdakwa (terpidana
berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama) mengajukan penangguhan
penahanan.
Ketentuan
Pasal 27 KUHAP tersebut, apabila diinterpretasikan demikian, maka akan menjadi
kontradiktif dengan asas res judicata pro
veritate habetur, lebih lanjut, juga akan berpengaruh kepada kewibawaan
dari Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang juga terdapat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan Pasal 27 KUHAP ketika
diintepretasikan bahwa bahwa proses banding adalah proses pemeriksaan
sebagaimana pemeriksaan awal kembali, ketika seorang terpidana statusnya
kembali menjadi terdakwa, sehingga dimungkinkan bagi terdakwa (terpidana
berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama) mengajukan penangguhan
penahanan, akan mendegradasi kewibawaan dari Putusan Pengadilan Tingkat
Pertama, lalu apakah artinya pemeriksaan di dalam sidang Pengadilan Tingkat
Pertama yang dilakukan dengan sangat menyita waktu dan tenaga, ketika sudah
mendapatkan suatu Putusan, lalu salah satu pihak menyatakan banding, kemudian
Putusan yang telah diambil dengan susah payah tersebut seolah-olah seperti
dinafikan, karena posisi terdakwa yang sudah menjadi terpidana berdasarkan
Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, kembali diperlakukan seperti terdakwa
ketika awal mula pemeriksaan.
Intepretasi
yang tepat terhadap ketentuan Pasal 27 KUHAP tersebut, agar terjadi
sinkronisasi di dalam aturan atau sistem hukum adalah, ketentuan tersebut
dipersempit maknanya (interpretasi restriktif).
Ketentuan Pasal 1 angka 21 KUHAP menyatakan, bahwa ; “Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.” Ketentuan Pasal 27 KUHAP ketika digunakan
interpretasi restriktif, maka
penahanan hanya untuk tersangka atau terdakwa, sehingga, ketika seorang
terdakwa divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara oleh Pengadilan
Negeri, ketika si terdakwa tersebut menyatakan banding, status dari terdakwa
tersebut tetaplah seorang terpidana kecuali di kemudian hari Putusan tersebut
dianulir berdasarkan Putusan Pengadilan yang lebih tinggi, tetapi selama
pemeriksaan banding dilakukan, si terpidana tersebut diperlakukan layaknya
seorang terdakwa, yaitu tempat penahanannya selama pemeriksaan ditentukan oleh
Hakim Pengadilan Tinggi (misalkan jika Hakim menginginkan terpidana tersebut
bukan lagi ditahan di Lembaga Pemasyarakatan tetapi dipindahkan ke Tahanan
Kepolisian misalnya), demikian juga dengan jangka waktunya. Hakim Pengadilan
Tinggi akan tetapi jika tidak memerintahkan untuk melakukan penahanan, maka si terpidana
tersebut tetap menjalani hukuman pidananya semula (tidak bebas), demikan juga
halnya ketika pemeriksaan banding pada Pengadilan Tinggi melebihi jangka waktu
yang diberikan oleh KUHAP untuk Hakim Pengadilan Tinggi melakukan penahanan,
ketentuan “terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum” maksudnya
dikeluarkan dari tahanan yang atas perintah Pengadilan Tinggi, sehingga ketika
hal tersebut terjadi, si terdakwa tersebut kembali menjalani hukuman pidana
penjara sebelumnya.
Berdasarkan
segala apa yang telah diuraikan, ketika seorang terdakwa pada Pengadilan
Tingkat Pertama divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara, maka saat
Hakim mengetuk palu (menutup sidang), status dari terdakwa tersebut berubah menjadi
terpidana. Sekalipun ia (terdakwa yang menjadi terpidana) mengajukan banding
terhadap Putusan tersebut, karena adanya asas res judicata pro veritate habetur, maka status terpidana beserta
segala konsekuensinya tetap akan melekat pada dirinya kecuali Putusan
Pengadilan Tingkat Pertama tersebut di kemudian hari dianulir berdasarkan
Putusan Pengadilan yang lebih Tinggi. Seorang terdakwa yang divonis bersalah
serta dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat
Pertama, lalu mengajukan banding disertai juga mengajukan permohonan
penangguhan penahanan kepada Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkaranya,
sekalipun permohonan penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh Hakim
Pengadilan Tinggi, si terdakwa tersebut tetap harus ditahan, tetapi ditahannya
si terdakwa tersebut bukan penahanan dalam kaitan pemeriksaan perkara (atas
perintah Hakim), tetapi ditahan sebagai terpidana (bentuk pelaksanaan Putusan
dari Pengadilan Tingkat Pertama).