AKTA PPAT SEBAGAI AKTA AUTENTIK
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PP No. 24 Tahun 2016) yang menjelaskan tentang pengertian
dari PPAT, ketentuan tersebut menyatakan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT
adalah akta autentik. Ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun
1998) mengatur bahwa : “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pendaftaran tanah”. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud tersebut adalah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah (PMNA No. 3 Tahun 1997) yang sekarang diubah dengan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2012 (Perkaban No. 8 Tahun 2012). PMNA Nomor 3 Tahun 1997 mengatur bahwa akta
PPAT adalah menggunakan blanko yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN), sedangkan Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 mengatur bahwa sekarang PPAT
mencetak sendiri akta yang dibuatnya (tidak lagi menggunakan blanko) tetapi
masih dalam bentuk sebagaimana blanko PPAT dahulu.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut dapat diambil suatu pemahaman, bahwa dasar hukum
tentang akta PPAT adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan bentuk dari akta PPAT
berpedoman atau mengikuti bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri.
Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata mensyaratkan, bahwa suatu akta dikategorikan
sebagai akta autentik, apabila bentuknya ditentukan oleh undang-undang. Akta
PPAT bentuknya ditentukan oleh peraturan yang di dalam hierarki
perundang-undangan, tingkatannya berada di bawah undang-undang (bukan
undang-undang).
Ketentuan
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) menyatakan : “Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden”. Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 12 Tahun 2011
menyatakan : “Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”.
Ketentuan-ketentuan tersebut jelas menyebutkan, bahwa Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah adalah dua jenis peraturan perundang-undangan yang
berbeda, Peraturan Pemerintah dibuat untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang, sehingga Peraturan Pemerintah secara hierarki peraturan
perundang-undangan, tingkatannya berada di bawah Undang-Undang.
Berdasarkan
hal sebagaimana telah diuraikan, timbul suatu pertanyaan, mengenai akta PPAT
termasuk akta autentik atau bukan. Herlien Budiono juga menyatakan, bahwa
karena akta autentik bentuknya harus ditentukan oleh undang-undang, maka pejabat
yang membuat akta tersebut juga harus ditentukan berdasarkan undang-undang,
selengkapnya Herlien Budiono[1]
memaparkan :
“Bentuk
akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang dapat
membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula
ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan setingkat
dengan undang-undang. Kalau kita setia dan konsisten pada satu sistem hukum,
hingga kini hanya notarislah yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik.
Pejabat yang berwenang untuk menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang
hukum perdata disebut pejabat umum, ditunjuk oleh negara melalui undang-undang
adalah notaris.
Kalau
melihat pada kedua bentuk SKMHT [Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan] tersebut,
yaitu yang dibuat dalam bentuk akta notaris dan dalam bentuk akta PPAT, kita
akan menemukan kerancuan dalam hal dasar hukum berpijaknya pembuatan SKMHT.
Sewajarnya untuk pembuatan akta otentik haruslah tunduk pada sistem hukum dan
mengacu pada undang-undang organiknya, yaitu dalam hal ini peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, Pasal 1868 KUH Perd, di mana ditentukan
bahwa untuk pembuatan akta otentik, baik bentuk maupun secara tidak langsung,
pejabatnya harus pula diatur dengan undang-undang”.
Pengertian
dari akta autentik bukan hanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata.
Ketentuan Pasal 165 Het Herziene
Indonesisch Reglement (H.I.R) juga mengatur mengenai pengertian atau
definisi dari akta autentik, yaitu :
“Surat (Akte) yang syah, ialah suatu surat
yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk
membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang
disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai
pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu
berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) itu”.
Ketentuan
Pasal 165 H.I.R tersebut tidak mensyaratkan bahwa bentuk suatu akta autentik
harus ditentukan oleh Undang-Undang, tetapi hanya harus dibuat oleh atau
di hadapan pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Terdapat dua pengertian
tentang akta autentik, pengertian yang satu diberikan oleh hukum materiil (KUH
Perdata), dan pengertian yang satu lagi diberikan oleh hukum formil (hukum
acara perdata H.I.R atau Rbg). Sudikno Mertokusumo[2]
menjelaskan : “Bagi peradilan volunter pada umumnya tidak berlaku peraturan
tentang hukum pembuktian dan BW buku IV. Demikian pula HIR (Rbg) pada umumnya
hanya disediakan untuk peradilan contentieus ...”. Pendapat dari A. P.
Parlindungan[3] juga
menyatakan :
“Dari
pernyataan demikian maka dengan dinyatakannya PPAT adalah Pejabat Umum, dan
konsekuensinya akta-akta yang dibuatnya adalah akta otentik. Dimaksud dengan
akta otentik, bahwa jika terjadi suatu masalah atas akta PPAT tersebut
Pengadilan tidak perlu memeriksa kebenaran isi dari akta tanah tersebut,
ataupun tanggal ditandatanganinya dan demikian pula keabsahan dari tanda tangan
dari pihak-pihak, asal saja tidak dapat dibuktikan adanya pemalsuan, penipuan,
maupun lain-lain kemungkinan akta tanah tersebut dapat dinyatakan batal ataupun
harus dinyatakan batal”.
Berdasarkan apa
yang telah diuraikan, maka akta PPAT merupakan akta autentik.
[1] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.59.
[2] Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.4.
[3] A. P. Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia (berdasarkan PP No. 24
Tahun 1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP
No. 37 Tahun 1998),
Mandar Maju, Bandung, hlm.175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar