Rabu, 03 Mei 2017

Akta PPAT sebagai Akta Autentik



AKTA PPAT SEBAGAI AKTA AUTENTIK

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 24 Tahun 2016) yang menjelaskan tentang pengertian dari PPAT, ketentuan tersebut menyatakan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta autentik. Ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998) mengatur bahwa : “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah”. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud tersebut adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PMNA No. 3 Tahun 1997) yang sekarang diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 (Perkaban No. 8 Tahun 2012). PMNA Nomor 3 Tahun 1997 mengatur bahwa akta PPAT adalah menggunakan blanko yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 mengatur bahwa sekarang PPAT mencetak sendiri akta yang dibuatnya (tidak lagi menggunakan blanko) tetapi masih dalam bentuk sebagaimana blanko PPAT dahulu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat diambil suatu pemahaman, bahwa dasar hukum tentang akta PPAT adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan bentuk dari akta PPAT berpedoman atau mengikuti bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri. Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata mensyaratkan, bahwa suatu akta dikategorikan sebagai akta autentik, apabila bentuknya ditentukan oleh undang-undang. Akta PPAT bentuknya ditentukan oleh peraturan yang di dalam hierarki perundang-undangan, tingkatannya berada di bawah undang-undang (bukan undang-undang).
Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) menyatakan : “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”. Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan : “Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Ketentuan-ketentuan tersebut jelas menyebutkan, bahwa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah adalah dua jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda, Peraturan Pemerintah dibuat untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, sehingga Peraturan Pemerintah secara hierarki peraturan perundang-undangan, tingkatannya berada di bawah Undang-Undang.
Berdasarkan hal sebagaimana telah diuraikan, timbul suatu pertanyaan, mengenai akta PPAT termasuk akta autentik atau bukan. Herlien Budiono juga menyatakan, bahwa karena akta autentik bentuknya harus ditentukan oleh undang-undang, maka pejabat yang membuat akta tersebut juga harus ditentukan berdasarkan undang-undang, selengkapnya Herlien Budiono[1] memaparkan :
“Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan setingkat dengan undang-undang. Kalau kita setia dan konsisten pada satu sistem hukum, hingga kini hanya notarislah yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik. Pejabat yang berwenang untuk menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata disebut pejabat umum, ditunjuk oleh negara melalui undang-undang adalah notaris.
Kalau melihat pada kedua bentuk SKMHT [Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan] tersebut, yaitu yang dibuat dalam bentuk akta notaris dan dalam bentuk akta PPAT, kita akan menemukan kerancuan dalam hal dasar hukum berpijaknya pembuatan SKMHT. Sewajarnya untuk pembuatan akta otentik haruslah tunduk pada sistem hukum dan mengacu pada undang-undang organiknya, yaitu dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Pasal 1868 KUH Perd, di mana ditentukan bahwa untuk pembuatan akta otentik, baik bentuk maupun secara tidak langsung, pejabatnya harus pula diatur dengan undang-undang”.

Pengertian dari akta autentik bukan hanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 165 Het Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) juga mengatur mengenai pengertian atau definisi dari akta autentik, yaitu :
 “Surat (Akte) yang syah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) itu”.

Ketentuan Pasal 165 H.I.R tersebut tidak mensyaratkan bahwa bentuk suatu akta autentik harus ditentukan oleh Undang-Undang, tetapi hanya harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Terdapat dua pengertian tentang akta autentik, pengertian yang satu diberikan oleh hukum materiil (KUH Perdata), dan pengertian yang satu lagi diberikan oleh hukum formil (hukum acara perdata H.I.R atau Rbg). Sudikno Mertokusumo[2] menjelaskan : “Bagi peradilan volunter pada umumnya tidak berlaku peraturan tentang hukum pembuktian dan BW buku IV. Demikian pula HIR (Rbg) pada umumnya hanya disediakan untuk peradilan contentieus ...”. Pendapat dari A. P. Parlindungan[3] juga menyatakan :
“Dari pernyataan demikian maka dengan dinyatakannya PPAT adalah Pejabat Umum, dan konsekuensinya akta-akta yang dibuatnya adalah akta otentik. Dimaksud dengan akta otentik, bahwa jika terjadi suatu masalah atas akta PPAT tersebut Pengadilan tidak perlu memeriksa kebenaran isi dari akta tanah tersebut, ataupun tanggal ditandatanganinya dan demikian pula keabsahan dari tanda tangan dari pihak-pihak, asal saja tidak dapat dibuktikan adanya pemalsuan, penipuan, maupun lain-lain kemungkinan akta tanah tersebut dapat dinyatakan batal ataupun harus dinyatakan batal”.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan, maka akta PPAT merupakan akta autentik.


[1] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.59.
[2] Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.4.
[3] A. P. Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia (berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998), Mandar Maju, Bandung, hlm.175.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian

PENANGGUHAN PENAHANAN KETIKA TERDAKWA YANG TELAH DIVONIS BERSALAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN TINGKAT PERTAMA MENGAJUKAN UPAYA BANDING ...