IDEOLOGI
A.
Uraian
Penggambaran apa yang dimaksud dengan Ideologi
Sejarah peradaban manusia telah
mencatat, bahwa beberapa tragedi kemanusiaan pernah terjadi karena adanya
perbedaan ideologi. Beberapa tragedi kemanusiaan tersebut pada mulanya berupa
pertempuran dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap ideologi yang diyakini,
dan akhirnya berujung pada kejahatan terhadap kemanusiaan[1]
bagi pihak yang mengalami kekalahan (pihak yang kalah menjadi objek kejahatan
kemanusiaan tersebut). Sejarah Indonesia sendiri pernah mencatat pertumpahan
darah antar sesama anggota bangsa atas nama ideologi, yaitu pada peristiwa
Gerakan 30 September 1965 atau yang hingga kini dikenal dengan G 30 S/PKI.
Peristiwa G 30 S/PKI tersebut dapat
dikategorikan sebagai pertempuran yang didasarkan pada ideologi, yaitu
pertentangan antara ideologi komunis yang dianut oleh sebagian kelompok
masyarakat, dan ideologi Pancasila yang juga dianut oleh sebagian kelompok
masyarakat yang lain. Peristiwa G 30 S/PKI, terlepas dari versi sejarahnya yang
hingga kini masih simpang siur, tidak dapat dielakkan, bahwa pertentangan antar
ideologi yang menjadi pemicu terjadinya peristiwa tersebut. Data Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) menyatakan bahwa
korban[2]
pada peristiwa G 30 S/PKI tersebut mencapai 500 ribu hingga 3 juta jiwa.
Peristiwa G 30 S/PKI tersebut, bukan
menjadi fokus bahasan pada tulisan ini. Tulisan ini hanya memfokuskan pada
pengenalan apa yang dimaksud dengan ideologi. Pemahaman terhadap apa yang
dimaksud dengan ideologi, diharapkan membawa manfaat, agar kita semua sebagai
manusia, makhluk yang dibekali dengan nurani dan akal, dapat menempatkan
ideologi di dalam kehidupan kita secara proporsional.
Beberapa karya ilmiah salah satunya yang
ditulis oleh Erniza Rina Hujayyana[3]
menyatakan, bahwa ideologi berasal dari bahasa Yunani eidos dan logos, eidos memiliki pengertian ide atau
gagasan, sedangkan logos memiliki
pengertian ilmu, berdasarkan hal tersebut, ideologi secara etimologi adalah
pengetahuan atau ilmu tentang gagasan. Ideologi
adalah sebuah istilah yang lahir pada akhir abad ke-18 atau tahun 1796
yang dikemukakan oleh filsuf Perancis bernama Destutt de Tracy.[4]
Mullin sebagaimana dikutip oleh John
Gerring[5]
menggambarkan ideologi sebagai : “A
logically coherent system of symbols which, within a more or less sophisticated
conception of history, links the cognitive and evaluative perception of ones
social condition, especially its prospects for the future to a program of
collective action for the maintenance, alteration, or transformation of society.”
Mullin menggambarkan ideologi sebagai suatu sistem koheren logis yang berdasar
pada pengetahuan faktual (yang pernah terjadi, yang empiris) dari kondisi
sosial, guna merumuskan program tindakan kolektif untuk masa depan, untuk
melakukan pemeliharaan, perubahan, atau transformasi masyarakat.
McClosky sebagaimana dikutip oleh John
Gerring[6]
menggambarkan ideologi sebagai : “Systems
of belief that are elaborate, integrated, and coherent, that justify the
exercise of power, explain and judge historical events, identify political
right and wrong, set forth the interconnections (causal and moral) between
politics and other spheres of activity.” McClosky menggambarkan ideologi
sebagai sistem kepercayaan yang rumit, terintegrasi, dan koheren, yang
membenarkan penggunaan kekuatan, menjelaskan dan menilai peristiwa-peristiwa
sejarah, mengidentifikasi politik benar dan salah, ditetapkan interkoneksi
(kausal dan moral) antara politik dan lingkup kegiatan lainnya.
H. A. R. Tilaar[7]
menggambarkan ideologi sebagai sistem keyakinan yang dianut masyarakat untuk
menata dirinya sendiri. Prayitno[8]
menggambarkan ideologi sebagai dasar pegangan yang sangat kuat terkait dengan
ide, teori ataupun sistem yang diakui kebenarannya, diikuti serta diperjuangkan
dan dilaksanakan dalam praktek, dengan komitmen, dedikasi dan tanggung jawab
yang setinggi-tingginya, jika diperlukan dengan pengorbanan apapun juga. Terry
Eagleton[9]
merinci beberapa pengertian dari ideologi, yaitu :
1.
the
process of production of meanings, signs and values in social life ;
(suatu proses untuk menghasilkan makna, tanda-tanda dan nilai-nilai dalam
kehidupan sosial)
2.
a
body of ideas characteristic of a particular social group or class ;
(suatu kumpulan ide yang merupakan karakteristik dari
suatu kelompok sosial atau kelas)
3.
ideas
which help to legitimate a dominant political power ;
(ide-ide yang membantu untuk melegitimasikan kekuatan politik yang dominan)
4.
false
ideas which help to legitimate a dominant political power ;
(ide-ide palsu yang membantu untuk melegitimasikan kekuatan politik yang
dominan)
5.
systematically
distorted communication ; (komunikasi yang terdistorsi
secara sistematis)
6.
that
which offers a position for a subject ; (yang menawarkan
posisi untuk subjek)
7.
forms
of thought motivated by social interests ; (bentuk-bentuk
pemikiran yang didorong oleh kepentingan sosial)
8.
identity
thinking ; (identitas berfikir)
9.
socially
necessary illusion ; (ilusi sosial yang diperlukan)
10. the conjuncture of discourse and
power ; (perpaduan dari konsep dan kekuatan)
11. the medium in which conscious
social actors make sense of their world ; (suatu media
aktor-aktor sosial untuk membuat masuk akal dunianya)
12. action oriented sets of beliefs ; (tindakan
yang bertujuan untuk menyusun keyakinan)
13. the confusion of linguistic and
phenomenal reality ; (bentuk kebimbangan dari linguistik dan
fenomena kenyataan)
15. the indispensable medium in which
individuals live out their relations to a social structure ; (media
yang sangat diperlukan untuk individu menjalani hubungan mereka kepada suatu
struktur sosial)
16. the process whereby social life is
converted to a natural reality. (proses dimana
kehidupan sosial dikonversi menjadi kenyataan alami).
Destutt de Tracy, orang yang dianggap
pertama kali mencetuskan istilah ideologi, sebagaimana dikutip oleh Teun A. van
Dijk[11]
menyatakan bahwa ; “ideologies have
something to do with systems of ideas, and especially with the social,
political or religious ideas shared by a social group or movement.” Destutt
de Tracy menyatakan bahwa ideologi mempunyai urusan dengan sistem ide-ide, dan
terutama dengan ide-ide sosial, politik atau agama yang dimiliki oleh kelompok
sosial atau gerakan.
B.
Penutup
Ideologi, sebagaimana telah diuraikan,
memiliki pengertian yang beragam. Hal tersebut mengingatkan pada penggambaran
di dalam mencari definisi keadilan oleh para ahli, yang digambarkan di dalam
cerita gajah dan peneliti buta. Cerita gajah dan peneliti buta itu
menggambarkan, bahwa masing-masing peneliti buta tersebut tidak akan mampu
untuk menggambarkan gajah secara keseluruhan, masing-masing peneliti memegang
bagian yang berbeda (ada yang memegang bagian telinga, ada yang memegang bagian
kaki, dan lain-lain), sehingga ketika masing-masing peneliti tersebut mengutarakan
temuannya, ada yang menyatakan bahwa makluk yang dipegangnya tersebut berbentuk
pipih, atau seperti silinder, dan lain-lain. Pengertian ideologi pun demikian,
penggambaran tentang ideologi, tergantung pendekatan yang digunakan oleh
masing-masing peneliti.
Ideologi, meskipun pengertiannya
beragam, tetapi ada titik kesamaan, di mana antara pemikir yang satu dengan
pemikir yang lain mengungkapkan hal yang sama. Hal tersebut adalah, bahwa
ideologi adalah suatu ide-ide, yang pada akhirnya diterima dan diyakini oleh
kelompok masyarakat tertentu.
Ide atau gagasan berasal dari alam
pikiran manusia. Manusia sebagai makhluk yang universal, segala keputusannya
tentu tidak terlepas dari berbagai macam pengaruh, dan sangat sulit untuk
berada pada titik objektif ketika mengambil suatu keputusan. Contoh misalkan,
teori ilmu hukum yang menjadi hasil dari pemikiran Thomas Aquinas tidak
terlepas dari latar belakang Thomas Aquinas sebagai seorang Santo (pemuka agama
Kristen). Gagasan yang dikemukakan oleh seseorang yang tidak mempercayai adanya
Tuhan, tentu akan cenderung mengkritisi ajaran atau gagasan mereka yang
mempercayai adanya Tuhan. Gagasan atau ide yang dikemukakan oleh seorang
manusia, tidak terlepas dari latar belakang serta apa yang menjadi
keyakinannya, dan masih banyak lagi faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
seseorang di dalam mengambil suatu keputusan, ataupun di dalam seseorang merancang
suatu ide atau gagasan.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan,
penulis mengharapkan tulisan ini sedikit banyaknya dapat membawa suatu
kemanfaatan. Semoga tulisan ini dapat membawa suatu pemahaman, meskipun hanya
sedikit, karena sebaik-baiknya manusia, adalah dia yang dapat membawa manfaat
bagi kehidupan di sekitarnya. Dan pada akhirnya kita juga yang akan memutuskan,
mengenai bagaimana kita menempatkan segala sesuatu di dalam diri kita, serta
bagaimana akhirnya kita membawa sikap tersebut di dalam kehidupan bersama.
[1] Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyatakan, bahwa ; “Kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a.
Pembunuhan;
b.
Pemusnahan;
c.
Perbudakan;
d.
Pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.
Penyiksaan;
g.
Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h.
Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i.
Penghilangan
orang secara paksa; atau
j.
Kejahatan
apartheid”.
[2] Tempo.co, “Berapa Sebenarnya
Korban Pembantaian Pasca-G30S 1965 ?”, http://www.m.tempo.co,
diunggah pada hari Senin, 18 April 2016 Pukul 17:08 WIB.
[3] Erniza Rina Hujayyana, “Ideologi
Islam Dalam Perspektif Syeikh Taqiyuddin An Nabhani”, Skripsi, Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2009, hlm.23.
[4] Erniza Rina Hujayyana, “Ideologi
Islam Dalam Perspektif Syeikh Taqiyuddin An Nabhani”, Skripsi, Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2009, hlm.23.
[5] John Gerring, “Ideology : A Definitional
Analysis”, Political Research Quarterly,
No. 4 Vol. 50 Desember 1997, hlm. 958.
[6] John Gerring, “Ideology : A
Definitional Analysis”, Political Research
Quarterly, No. 4 Vol. 50 Desember 1997, hlm. 958.
[7] H. A. R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan
dari Perspektif Studi Kultural, IndonesiaTera, Magelang, 2003, hlm.114.
[8] Prayitno, Pendidikan Dasar Teori dan Praksis (jilid I dan II), Universitas Negeri
Padang Press, Padang, 2009, hlm.491.
[9] Terry Eagleton, Ideology : An Introduction, Verso,
London, New York, 1991, hlm.1-2.
[10] Suatu tradisi di dalam ilmu
komunikasi yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Lihat Rachmat Kriyantono,
Teknik Praktis Riset Komunikasi,
Kencana, Jakarta, 2007, hlm.261.
[11] Teun A. Van Dijk, Ideology and discourse : A Multidisciplinary
Introduction, Pompeu Fabra University, Barcelona, 2000, hlm.6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar