AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
BUKAN OBJEK SENGKETA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998) menyatakan ;
“PPAT
bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat
akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”
Tugas
pokok PPAT tersebut yang pada akhirnya menimbulkan pemahaman, bahwa PPAT
merupakan pejabat tata usaha negara karena menjadi bagian dari kegiatan
pendaftaran tanah, selanjutnya dikarenakan PPAT merupakan pejabat tata usaha
negara, maka akta PPAT juga merupakan objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.[1]
Pengertian dari sengketa tata usaha negara itu sendiri adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Pengertian dari tata usaha negara adalah administrasi negara yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah.[3]
Pengertian keputusan tata usaha negara adalah, suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[4]
Ketentuan
Pasal Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU
No. 51 Tahun 2009) memberikan pengertian tata usaha sebagai administrasi negara
yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah. Pemerintahan sendiri menurut Philipus M. Hadjon
sebagaimana dikutip oleh H. A. Muin Fahmal[5]
pengertiannya dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu :
- Pemerintahan dalam arti fungsi, yakni kegiatan yang mencakup aktivitas pemerintah ;
- Pemerintahan dalam arti organisasi, yaitu kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan.
Berdasarkan
pengertian yang diberikan oleh Philipus M. Hadjon tersebut, PPAT memang dapat
dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, karena PPAT melaksanakan
kegiatan atau aktivitas pemerintahan (pendaftaran tanah). Istilah pejabat tata
usaha negara tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara struktural
memangku suatu jabatan tata usaha negara, tetapi juga ditujukan kepada siapa
saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan urusan pemerintahan
(fungsional).[6]
Pejabat
Pembuat Akta Tanah berdasarkan tugas pokoknya dapat dikategorikan sebagai
pejabat tata usaha negara, tetapi apakah dengan demikian konsekuensinya akta
PPAT merupakan objek sengketa di PTUN, mengingat karakteristik akta PPAT berbeda
dengan keputusan tata usaha negara. Akta PPAT sifatnya merupakan kesaksian yang
berisikan tentang suatu perbuatan hukum berdasarkan keterangan yang diberikan
oleh para pelaku perbuatan hukum tersebut. Keputusan tata usaha negara sebagaimana
ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 sifatnya adalah penetapan yang
dibuat secara tertulis, berdasarkan hal tersebut sudah dapat dipahami perbedaan
karakteristik antara akta PPAT dengan keputusan tata usaha negara. Penetapan
dengan kesaksian sifatnya berbeda, kesaksian sifatnya adalah menerangkan suatu
kejadian yang telah terjadi, sedangkan penetapan sifatnya adalah tindakan
sepihak untuk menentukan sesuatu.
Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) berdasarkan tugas pokoknya memang dapat dikategorikan
sebagai pejabat tata usaha negara, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa
akta PPAT menjadi objek sengketa di PTUN.[7]
Mahkamah Agung (MA) juga memiliki pandangan, bahwa akta PPAT bukan merupakan
keputusan tata usaha negara, sehingga akta PPAT tidak dapat dijadikan sebagai
objek sengketa tata usaha negara, hal tersebut sebagaimana pernah dinyatakan di
dalam putusan nomor : 62 K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001. Putusan MA lainnya
juga menyatakan bahwa akta PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara,
yaitu pada putusan dengan nomor : 302 K/TUN/1999 tanggal 8 Februari 2000.
Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie[8]
juga memberikan argumentasi mengapa akta PPAT bukan merupakan atau tidak
termasuk di dalam kategori keputusan tata usaha negara, yaitu karena akta PPAT
:
- Tidak memenuhi hakikat keputusan tata usaha negara sebagai suatu besluit[9]. Suatu besluit pada hakikatnya adalah suatu beschikking[10]. Akta PPAT bukanlah suatu beschikking dari PPAT.
- Bukan norma hukum sebagaimana halnya keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara adalah norma penutup dalam rangkaian norma hukum.
- Tidak memenuhi unsur keputusan tata usaha negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 [saat ini menjadi Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009], dan PPAT bukanlah Pejabat tata usaha negara dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 [saat ini menjadi Pasal 1 angka 12 UU No. 51 Tahun 2009].
Berdasarkan
apa yang telah diuraikan, PPAT memang dapat dikategorikan sebagai pejabat tata
usaha negara, dikarenakan PPAT memiliki tugas pokok menjalankan salah satu
urusan pemerintahan (kegiatan pendaftaran tanah). PPAT meskipun dapat
dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, akan tetapi akta PPAT bukan
merupakan keputusan tata usaha negara, sehingga bukan merupakan objek sengketa
di PTUN.
[1] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
[2] Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[3] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[4] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[5] H. A. Muin Fahmal, 2006, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, hlm.26.
[6] Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I) : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata
Usaha Negara, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, hlm.64.
[7] Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi PPAT menurut PP 10 Tahun 1961,
Airlangga Press, Surabaya, hlm.18.
[8] Habib Adjie, “Karakter Yuridis
Jabatan Notaris”, http:// http://www.indonesianotarycommunity.com, diunggah pada tanggal 29
November 2015.
[9] Keputusan yang sudah memiliki
pengertian khusus, yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau
sebagai peraturan perundang-undangan.
[10] Keputusan
tertulis dari administrasi Negara yang mempunyai akibat hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar