Rabu, 03 Mei 2017

Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Bukan Objek Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara



AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH BUKAN OBJEK SENGKETA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998) menyatakan ;
“PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”

Tugas pokok PPAT tersebut yang pada akhirnya menimbulkan pemahaman, bahwa PPAT merupakan pejabat tata usaha negara karena menjadi bagian dari kegiatan pendaftaran tanah, selanjutnya dikarenakan PPAT merupakan pejabat tata usaha negara, maka akta PPAT juga merupakan objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.[1] Pengertian dari sengketa tata usaha negara itu sendiri adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2] Pengertian dari tata usaha negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.[3] Pengertian keputusan tata usaha negara adalah, suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[4]
Ketentuan Pasal Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 51 Tahun 2009) memberikan pengertian tata usaha sebagai administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Pemerintahan sendiri menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh H. A. Muin Fahmal[5] pengertiannya dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu :


  1.  Pemerintahan dalam arti fungsi, yakni kegiatan yang mencakup aktivitas pemerintah ;
  2.  Pemerintahan dalam arti organisasi, yaitu kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan.

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh Philipus M. Hadjon tersebut, PPAT memang dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, karena PPAT melaksanakan kegiatan atau aktivitas pemerintahan (pendaftaran tanah). Istilah pejabat tata usaha negara tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara struktural memangku suatu jabatan tata usaha negara, tetapi juga ditujukan kepada siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan urusan pemerintahan (fungsional).[6]
Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan tugas pokoknya dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, tetapi apakah dengan demikian konsekuensinya akta PPAT merupakan objek sengketa di PTUN, mengingat karakteristik akta PPAT berbeda dengan keputusan tata usaha negara. Akta PPAT sifatnya merupakan kesaksian yang berisikan tentang suatu perbuatan hukum berdasarkan keterangan yang diberikan oleh para pelaku perbuatan hukum tersebut. Keputusan tata usaha negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 sifatnya adalah penetapan yang dibuat secara tertulis, berdasarkan hal tersebut sudah dapat dipahami perbedaan karakteristik antara akta PPAT dengan keputusan tata usaha negara. Penetapan dengan kesaksian sifatnya berbeda, kesaksian sifatnya adalah menerangkan suatu kejadian yang telah terjadi, sedangkan penetapan sifatnya adalah tindakan sepihak untuk menentukan sesuatu.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berdasarkan tugas pokoknya memang dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa akta PPAT menjadi objek sengketa di PTUN.[7] Mahkamah Agung (MA) juga memiliki pandangan, bahwa akta PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara, sehingga akta PPAT tidak dapat dijadikan sebagai objek sengketa tata usaha negara, hal tersebut sebagaimana pernah dinyatakan di dalam putusan nomor : 62 K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001. Putusan MA lainnya juga menyatakan bahwa akta PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara, yaitu pada putusan dengan nomor : 302 K/TUN/1999 tanggal 8 Februari 2000. Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie[8] juga memberikan argumentasi mengapa akta PPAT bukan merupakan atau tidak termasuk di dalam kategori keputusan tata usaha negara, yaitu karena akta PPAT :


  1. Tidak memenuhi hakikat keputusan tata usaha negara sebagai suatu besluit[9]. Suatu besluit pada hakikatnya adalah suatu beschikking[10]. Akta PPAT bukanlah suatu beschikking dari PPAT.
  2. Bukan norma hukum sebagaimana halnya keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara adalah norma penutup dalam rangkaian norma hukum.
  3. Tidak memenuhi unsur keputusan tata usaha negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 [saat ini menjadi Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009], dan PPAT bukanlah Pejabat tata usaha negara dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 [saat ini menjadi Pasal 1 angka 12 UU No. 51 Tahun 2009].


Berdasarkan apa yang telah diuraikan, PPAT memang dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, dikarenakan PPAT memiliki tugas pokok menjalankan salah satu urusan pemerintahan (kegiatan pendaftaran tanah). PPAT meskipun dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, akan tetapi akta PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara, sehingga bukan merupakan objek sengketa di PTUN.





[1] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[2] Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[3] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[4] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[5] H. A. Muin Fahmal, 2006, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, hlm.26.
[6] Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I) : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, hlm.64.
[7] Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi PPAT menurut PP 10 Tahun 1961, Airlangga Press, Surabaya, hlm.18.
[8] Habib Adjie, “Karakter Yuridis Jabatan Notaris”, http:// http://www.indonesianotarycommunity.com, diunggah pada tanggal 29 November 2015.
[9] Keputusan yang sudah memiliki pengertian khusus, yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau sebagai peraturan perundang-undangan.
[10] Keputusan tertulis dari administrasi Negara yang mempunyai akibat hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian

PENANGGUHAN PENAHANAN KETIKA TERDAKWA YANG TELAH DIVONIS BERSALAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN TINGKAT PERTAMA MENGAJUKAN UPAYA BANDING ...